Sekilas sejarah banjir Jakarta
Jakarta sudah dilanda banjir sejak ribuan tahun silam, jauh sebelum
kota ini diberi nama Batavia dan dikuasai oleh penjajah Belanda. Pada
abad ke-5 ketika Jakarta yang kita kenal sekarang ini berada dibawah
kekuasaan Kerajaan Tarumanagara, kota ini telah kerap terendam banjir
pada saat puncak musim hujan. Apa yang tertulis pada Prasasti Tugu yang
ditemukan di daerah Jakarta Utara pada tahun 1878, merupakan salah satu
bukti otentik bahwa wilayah yang sekarang kita kenal sebagai Jakarta ini
sudah mengalami banjir sejak dahulu kala.
Salah satu keterangan dalam prasasti yang dibuat pada masa kerajaan
Tarumanagara ini, menjelaskan bahwa Raja Purnawarman pernah menggali
Kali Chandrabhaga (Kali di daerah Bekasi) dan Kali Gomati (Kali di
daerah Tangerang) sepanjang sekitar 24 km untuk mengatasi banjir di
wilayah kerajaannya. Prasasti tersebut mengungkapkan bahwa pada masa itu
Jakarta telah pernah mengalami banjir, dan Raja Purnawarman berusaha
mengatasinya dengan menggali kali antara Bekasi dan Tangerang.
(Zaenuddin HM, 2013). Tercatat beberapa banjir besar pernah terjadi di
Jakarta, antara lain pada tahun 1621, 1654, 1872, 1893, 1909, sampai
banjir besar yang terjadi pada tahun 2002, 2007, 2013, dan juga tahun
ini. Meskipun Jakarta telah mengalami banjir sejak dulu, namun kini
intensitasnya semakin tinggi dan wilayah yang tergenang juga semakin
luas. Dengan demikian kerugian serta dampaknya semakin buruk dari tahun
ke tahun.
Kerugian Banjir Jakarta
Sejak ratusan tahun lalu, banjir selalu menimbulkan kerugian yang
besar bagi Jakarta dan penghuninya. Salah satu banjir terbesar yang
terjadi di Jakarta pada masa penjahan Belanda terjadi pada tahun 1872,
banjir itu menyebabkan pintu air di depan daerah yang sekarang berdiri
Masjid Istiqlal, jebol. Sungai Ciliwung meluap dan merendam pertokoan
serta hotel di Jalan Gajah Mada dan Hayam Wuruk. Begitu juga Gedung
Harmonie, gedung dimana kaum elit Belanda bersosialisasi dan berpesta,
ikut terendam. Banjir itu juga menyebabkan Rijswijk (Jalan Veteran) dan
Noordwijk (Jalan Juanda) tidak dapat dilalui kendaraan, termasuk kawasan
yang sekarang menjadi Lapangan Banten juga terendam banjir. Banjir yang
teramat parah itu menyebabkan Batavia lumpuh. Dua puluh tahun kemudian,
pada tahun 1893 , banjir besar kembali melanda Batavia, pada tahun itu
intensitas curah hujan begitu tinggi sehingga belasan sungai-sungai yang
melintasi Jakarta tidak sanggup menampung air limpasannya. Hujan deras
yang disertai angin kencang juga mengakibatkan banyak pohon tumbang. Di
antaranya di Kwitang, Kebon Sirih, Petojo dan Tanah Abang. Banjir kala
itu juga menyebabkan berjangkitnya wabah penyakit seperti kolera dan
pes, sehingga banyak menimbulkan korban jiwa penduduk Batavia.
(Zaenuddin HM, 2013)
Seiring dengan waktu kerugian akibat banjir yang terjadi di Jakarta
dari tahun ke tahun mengalami peningkatan, wilayah yang tergenang banjir
pun mengalami perluasan, jika dulu hanya wilayah utara dan barat
Jakarta saja yang mengalami banjir, maka saat ini hampir seluruh wilayah
Jakarta hampir tidak ada yang luput dari banjir.
Banjir besar yang terjadi pada tahun 2007, menggenangi 89 kelurahan
yang ada di Jakarta dengan luas wilayah yang tergenang sekitar 454,8
km2, atau lebih dari 60% wilayah Jakarta. Banjir ini merupakan salah
satu yang terbesar dalam sejarah Jakarta dan mengakibatkan kerugian
hingga mencapai 5,2 triliun, menelan korban 80 jiwa, dan memaksa sekitar
320 ribu orang warga Jakarta mengungsi karena rumahnya tergenang atau
bahkan tenggelam oleh banjir.
Banjir yang terjadi baru-baru ini —(per 20 Januari) menggenangi 89
kelurahan yang ada di Jakarta, dengan luasan wilayah yang terkena dampak
sekitar 17,4% dari total wilayah Jakarta, dan sampai saat ini telah
memakan korban jiwa sebanyak 11 orang.
Penyebab Banjir Jakarta
Banjir yang kerap melanda Jakarta pada musim penghujan disebabkan
oleh multi faktor. Penyebab banjir di Jakarta antara lain adalah
penurunan tanah yang rata-rata mencapai 10 cm pertahun, bahkan di
beberapa wilayah di bagian utara Jakarta laju penurunan tanah mencapai
26 cm pertahun, penurunan tanah ini terjadi akibat penyedotan air tanah
yang begitu masif untuk kepentingan rumah tangga dan industri. Hilangnya
Hutan Bakau di pesisir Jakarta juga merupakan salah satu faktor
penyebab banjir, wilayah dimana sekarang berdiri banyak perumahan mewah
seperti Pantai Indah Kapuk (PIK), dulunya merupakan hutan bakau yang
menghalangi limpasan air laut ke darat di saat terjadi pasang air laut
(rob).
Kondisi 13 sungai yang melintasi Jakarta yang sebagian besar dalam
kondisi memprihatinkan juga memperburuk banjir di ibu kota,
sungai-sungai tersebut mengalami pendangkalan dan penyempitan, bantaran
sungainya dipenuhi oleh bangunan-bangunan baik yang berijin maupun tidak
berijin, sungai yang dangkal dan sempit tidak lagi mampu menampung
curahan air hujan. Berkurang dan hilangnya ruang terbuka hijau dan
daerah resapan air karena disulap menjadi perumahan mewah dan
pusat-pusat perbelanjaan besar juga berkontribusi memperburuk banjir
yang terjadi di ibu kota. Air hujan tidak bisa lagi langsung terserap
tanah, karena daerah resapan air dan ruang terbuka hijau sudah berubah
menjadi hutan-hutan beton. Hal ini diperparah lagi dengan buruknya
pengelolaan sampah dan rendahnya kesadaran dalam mengelola sampah.
Jakarta menghasilkan sekita 6,000 ton sampah setiap hari, dimana 2,000
ton diantaranya berakhir di sungai-sungai ini.
Gelombang tinggi di perairan Jakarta dan air pasang rob yang terjadi
bersamaan dengan turunnya hujan membuat Jakarta semakin dikepung air,
ketika kondisi ini terjadi, banjir di Jakarta akan semakin buruk. Air
dari 13 sungai di Jakarta tertahan dan tidak bisa langsung mengalir ke
laut, justru air dari pasang rob menambah debit air yang menggenangi
Jakarta. Kondisi ini terjadi karena berkurangnya secara masif hutan
bakau di Jakarta yang seharusnya berfungsi menahan limpasan air dari
pasang rob, berubah menjadi permukiman mewah dan pusat perbelanjaan.
Kerusakan wilayah hulu Sungai Ciliwung dan Cisadane, akibat perubahan
hutan di wilayah Bogor dan Cianjur, menjadi perkebunan teh dan
rumah-rumah peristirahatan kalangan berpunya di Indonesia meningkatkan
aliran permukaan (run off). Hal ini membuat air hujan yang turun di
kawasan tersbut tidak dapat diserap oleh tanah secara maksimal dan
langsung meluncur ke kawasan di hilir sehingga menyebabkan semakin
buruknya banjir di Jakarta.
Perubahan iklim juga tidak bisa dibantah berkontribusi secara
signifikan terhadap banjir di Jakarta. Perubahan iklim berdampak pada
berubahnya pola cuaca dan kenaikan permukaan air laut, meningkatkan
intensitas terjadinya cuaca ekstrem, seperti curah hujan yang sangat
tinggi, dan gelombang tinggi di perairan Jakarta. Menurut salah satu
hasil penelitian, mulai tahun 2016 banjir di Jakarta akibat air pasang
rob akan semakin meningkat dari tahun ke tahun dan akan berpotensi
menenggelamkan wilayah utara Jakarta pada tahun 2025 ( Brinkman, 2007).
Mengacu pada laju perubahan iklim saat ini, maka bisa dipastikan banjir
di Jakarta pada tahun-tahun mendatang akan lebih sering terjadi dan
wilayah yang terkena dampaknya akan semakin meluas. Kecuali jika ada
langka-langkah nyata yang diambil oleh pemerintah untuk mengatasi
masalah ini.
Artikel : greenpeace.org